Sunday, December 15, 2013

Potong Rambut Bergaransi




Aku memiliki seorang teman ketika SMA, namanya Samsudin. Kalau ditanya diskripsi orangnya, dia mirip UPIL. Kecil, item, udik, dan mungkin asin. Samsudin merupakan teman seperjuanganku dalam masa-masa keculunan SMA. Meski mirip upil, Samsudin merupakan salah satu murid kesayangan dari guru sosiologi di sekolahanku. Saking sayangnya, Samsudin diberi uang buat potong rambut karena rambut dia sudah terlampau panjang. Bisa dibayangin, ketika ada manusia kerdil mirip upil memiliki rambut yang gondrong. Ya, UPIL GONDRONG jadinya.
Aku masih inget detik-detik si Samsudin diberi uang, tapi ini aku buat mendramatisir. OK.
“Samsudin anakku, rambutmu sudah terlampau panjang. Apakah kau tidak mau potong rambut?” Kata guruku.
“Ampun baginda guru. Sebenarnya saya ingin potong rambut, tetapi saya sedang tidak punya uang”
“Sini anakku. Kamu sudah bapak anggap anak sendiri. Maka dari itu, bapak beri kamu uang, tetapi besok harus sudah potong rambut”
Sekelas bersorak. Bukan karena bangga terhadap guru kami yang berwibawa. Tetapi wabah kutu yang akhir-akhir ini Samsudin sebarkan, akan hilang sudah. Dan kami harap hari-hari esok akan menjadi hari-hari kami tanpa kutu rambut.
Sebagai pemilik rambut berombat khas Indonesia, tentunya memilih gaya rambut menjadi hal yang membingungkanku. Mau direbonding, takut disangka niru gayanya Andika KangenBand. Mau dibuat gimbal, tar disangka penerusnya Mbah Surip. Pernah aku gondrongin, bukan kayak UPIL GONDRONG, tapi kata temenku malah kayak SETAN UPIL.  Akhirnya aku tetap dengan gaya yang senatural mungkin. Setidaknya itulah yang bisa aku lakukan.
Suatu malam aku pergi ke tempat pangkas rambut dekat rumahku. Ketika sudah nyampe, ternyata antre lumayan banyak. Waktu antre, aku habiskan untuk smsan dengan gebetanku. Sari namanya. Lupa mengisi pulsa, pulsa abis. Mau beli, tapi sudah waktunya rambutku dieksekusi. Untungnya aku masih punya pulsa internet, dan aku coba menghubungi sepupuku yang jualan pulsa via whatsapp.
“Bang, mau potong apa bang?” tanya tersangka pemotong rambut.
Sambil masih megang HP, aku duduk dikursi kayu bekas pantat kakek-kakek beruban yang potong sebelumku. “Biasa aja mas, yang penting belakang sama sampingnya radak ditipisin ya mas. Soalnya cepet panjang” terangku pada mas-mas berjenggot itu.
Dengan masih memainkan HP, aku konsen menghubungi sepupu perempuanku yang ternyata dia sedang ribut dengan pacarnya. Alhasil aku malah jadi tempat curhatanya. Aku masih inget isi curhatanya.
“Lif, bayangin aja. Aku tu capek pulang kuliah. Udah di kampus judul skripsiku ditolak. Sampe rumah malah adekku mipisin tempat tidurku, eh pacarku sendiri gak bales smsku lif. Bayangin........ Sory, saldo pulsaku abis”
Sesuai perintah sepupuku, aku bayangin. Dan aku menarik sebuah simpulan. Capek kuliah? Gak usah kuliah. Kasur dipipisin adik? Pipisin gantian aja. Masalah pacar gak bales sms? Entahlah. Memang ya, punya sepupu cewek itu? Entahlah. Dan kesimpulan yang terakhir, sepupuku adalah salah satu tersangka PHP. Kenapa gak dari tadi bilang kalau gak ada saldo.
Setelah asik jadi korban PHP, aku sama sekali gak ngeliatin kerjaannya sipemotong rambutku. Setengah kaget aku kaget.
“LOH MAS...... ini kenapa model rambutku mirip potonganya monyet-monyet yang dilarang di Kota Jakarta?” setengah kaget, tapi kaget.
“Loh bang, katanya yang samping sama belakang ditipisin. Berarti yang tengah atas dibanyakin dong bang” terangnya.
“Ini kalau saya ke Jakarta dikira topeng monyet. Dan bisa-bisa nanti saya dikarantina sama Pak Jokowi. Gak mau mas (sambil kencing di celana). Balikin rambut saya mas, balikin......”
Setelah memperhitungkan segala sesuatu hal. Akhirnya saya pahami. Tidak ada tempat pangkas rambut bergaransi. Begitu pula dengan cinta. Sebanyak-banyaknya kita berkorban ke pasangan kita, belum tentu kalau kita sudah putus denganya, maka cinta kita akan dibalikin. Karena cinta tidak ada garansinya.

No comments:

Post a Comment