Aku
memiliki seorang teman ketika SMA, namanya Samsudin. Kalau ditanya diskripsi
orangnya, dia mirip UPIL. Kecil, item, udik, dan mungkin asin. Samsudin merupakan
teman seperjuanganku dalam masa-masa keculunan SMA. Meski mirip upil, Samsudin
merupakan salah satu murid kesayangan dari guru sosiologi di sekolahanku. Saking sayangnya, Samsudin diberi uang
buat potong rambut karena rambut dia sudah terlampau panjang. Bisa dibayangin,
ketika ada manusia kerdil mirip upil memiliki rambut yang gondrong. Ya, UPIL
GONDRONG jadinya.
Aku
masih inget detik-detik si Samsudin diberi uang, tapi ini aku buat
mendramatisir. OK.
“Samsudin
anakku, rambutmu sudah terlampau panjang. Apakah kau tidak mau potong rambut?”
Kata guruku.
“Ampun
baginda guru. Sebenarnya saya ingin potong rambut, tetapi saya sedang tidak
punya uang”
“Sini
anakku. Kamu sudah bapak anggap anak sendiri. Maka dari itu, bapak beri kamu
uang, tetapi besok harus sudah potong rambut”
Sekelas
bersorak. Bukan karena bangga terhadap guru kami yang berwibawa. Tetapi wabah
kutu yang akhir-akhir ini Samsudin sebarkan, akan hilang sudah. Dan kami harap
hari-hari esok akan menjadi hari-hari kami tanpa kutu rambut.
Sebagai
pemilik rambut berombat khas Indonesia, tentunya memilih gaya rambut menjadi
hal yang membingungkanku. Mau direbonding, takut disangka niru gayanya Andika
KangenBand. Mau dibuat gimbal, tar disangka penerusnya Mbah Surip. Pernah aku
gondrongin, bukan kayak UPIL GONDRONG, tapi kata temenku malah kayak SETAN
UPIL. Akhirnya aku tetap dengan gaya
yang senatural mungkin. Setidaknya itulah yang bisa aku lakukan.
Suatu
malam aku pergi ke tempat pangkas rambut dekat rumahku. Ketika sudah nyampe,
ternyata antre lumayan banyak. Waktu antre, aku habiskan untuk smsan dengan gebetanku. Sari namanya. Lupa
mengisi pulsa, pulsa abis. Mau beli, tapi sudah waktunya rambutku dieksekusi. Untungnya
aku masih punya pulsa internet, dan
aku coba menghubungi sepupuku yang jualan pulsa via whatsapp.
“Bang,
mau potong apa bang?” tanya tersangka pemotong rambut.
Sambil
masih megang HP, aku duduk dikursi
kayu bekas pantat kakek-kakek beruban yang potong sebelumku. “Biasa aja mas,
yang penting belakang sama sampingnya radak ditipisin ya mas. Soalnya cepet
panjang” terangku pada mas-mas berjenggot itu.
Dengan
masih memainkan HP, aku konsen menghubungi
sepupu perempuanku yang ternyata dia sedang ribut dengan pacarnya. Alhasil aku
malah jadi tempat curhatanya. Aku masih inget isi curhatanya.
“Lif,
bayangin aja. Aku tu capek pulang kuliah. Udah di kampus judul skripsiku
ditolak. Sampe rumah malah adekku mipisin tempat tidurku, eh pacarku sendiri
gak bales smsku lif. Bayangin........
Sory, saldo pulsaku abis”
Sesuai
perintah sepupuku, aku bayangin. Dan aku menarik sebuah simpulan. Capek kuliah?
Gak usah kuliah. Kasur dipipisin adik? Pipisin gantian aja. Masalah pacar gak
bales sms? Entahlah. Memang ya, punya
sepupu cewek itu? Entahlah. Dan kesimpulan yang terakhir, sepupuku adalah salah
satu tersangka PHP. Kenapa gak dari tadi bilang kalau gak ada saldo.
Setelah
asik jadi korban PHP, aku sama sekali gak ngeliatin kerjaannya sipemotong
rambutku. Setengah kaget aku kaget.
“LOH
MAS...... ini kenapa model rambutku mirip potonganya monyet-monyet yang
dilarang di Kota Jakarta?” setengah kaget, tapi kaget.
“Loh
bang, katanya yang samping sama belakang ditipisin. Berarti yang tengah atas
dibanyakin dong bang” terangnya.
“Ini
kalau saya ke Jakarta dikira topeng monyet. Dan bisa-bisa nanti saya
dikarantina sama Pak Jokowi. Gak mau mas (sambil kencing di celana). Balikin rambut
saya mas, balikin......”
Setelah
memperhitungkan segala sesuatu hal. Akhirnya saya pahami. Tidak ada tempat
pangkas rambut bergaransi. Begitu pula dengan cinta. Sebanyak-banyaknya kita
berkorban ke pasangan kita, belum tentu kalau kita sudah putus denganya, maka
cinta kita akan dibalikin. Karena cinta tidak ada garansinya.
No comments:
Post a Comment