Tuesday, April 29, 2014

Si Anak Monyet Berbulu Lebat









            Awal masuk SMP masih kayak biasanya. Saking biasanya, ya biasa masih kayak orang bodoh. Tapi, di SMP lah, aku kenal cewek berbody kecil, berponi indah, berkucir pita merah satu yang terlihat rapi menghias kepalanya. Ani namanya.
            Terlihat kecantikanya ketika aku berjalan sambil menganga dan pada akhirnya, aku tersandung. Aku jatuh dua kali. Yang pertama terjatuh dan hampir nyemplung di kubangan. Memang kagak sakit, tapi malunya itu. Tapi aku sadar, kemaluanku tak seberapa. Jatuh yang kedua yaitu, “jatuh cinta” kalau ini juga gak sakit, tapi sadar diri aja. Meski dia cewek berbody kecil, tapi aku juga berbody lebih kecil.
            “Kok bajumu kotor kena lumpur? Main kubangan to?” Itu pertanyaanya ketika di awal percakapan kami.
            “Gak main kubangan kok, Cuma tadi nyemplung, habisnya gerah, hehe” Jawabku.
            “Kamu lucu juga ya, aku Ani Eriyanti. Nama kamu?”
            “Aku Teguh Alif, salam kenal ya”
            “Iya”
            Sejak itu kami jadi sering bermain bersama. Tapi syukurnya, gak main kubangan. Di kelaspun, aku memilih duduk satu baris di belakangnya. Waktu itu, aku niat banget ngedeketin dia. Tapi semua usahaku terganjal karna satu hal, aku pendek. Bahkan dia memanggilku si cowok kontet. Memang kala itu aku belum sunat. Mitosnya, cowok kalau tititnya udah dipotong, maka tinggi badanya akan bertambah. Sayangnya si tititku belum berani dirapiin.
            Suatu pagi di kelasku, ada sebuah insiden. Ada salah satu teman sekelasku yang juga naksir si cewek berkucir satu tersebut. Dia minta tempat dudukku yang memang tepat di belakang si Ani. Jelas aku nolak. Tapi apa daya, temenku itu tadi berbadan cukup besar, gempal pula. Kalau kala itu bodyku kecil mirip bayi monyet berbulu ketek lebat. Tapi temanku ini berbody gempal mirip anak gajah berhidung pesek. Walau anak gajah, tetap saja anak monyet tak bisa mengalahkan anak gajah.
            Tapi anak monyet tak habis akal. Si anak gajah tadi terus-terusan menggangguku yang tetap mempertahankan tempat dudukku. Di kala itu, aku masih inget petuah Bapakku, “Jadi cowok itu jangan cemen, lawan saja”. Beneran, aku lawan. Di penghujung akhir pelajaran, ku putuskan untuk membalas perbuatan si anak gajah tadi. Aku pegang pensil, aku tusuk kaki anak gajah tadi dengan pensil. Aku berharap dia kempes dan berubah menjadi anaknya anak monyet. Tapi, gagal kempes.
            “Kampret ya, nantang!” Teriaknya si anak gajah. Ditariknya aku menuju luar kelas. Dicekiknya aku, ditaboknya aku. Aku tetap melawan, pensil yang ada di tanganku, ku gunakan sebagai senjata. Tapi gagal, ditepis tanganku, dan diludahinya aku. Bisa dibayangkan, anak gajah menyiksa anak monyet berbulu lebat. Sungguh, tersiksa.
            “Masih mau nantang” Bentaknya.
            “Masih mau nantang!!!!!!” Teriaknya tambah keras. Dan aku hanya bisa berharap ada guru.
            “Ampuuuuuuun” Dengan bangga aku nangis.
            (Kayaknya cukup deh nyeritain bagian ini, “malu”)
            Sejak insiden tersebut, aku sudah tak duduk di bangku belakang Ani. Dan aku pun tak sedekat dengan Ani seperti dulu. Mungkin Ani ilfil dengan cowok cengeng, atau mungkin dia ilfil deket cowok kontet. Entahlah, yang pastinya dia ilfil dengan cowok mirip anak monyet berbulu lebat, ya itu aku. Tapi aku yang sekarang bukanlah yang dulu, sekarang aku lebih tinggi. Tapi, tetap pendek jika dibanding cowok seumuranku, dan aku tetap culun.

No comments:

Post a Comment