Awal masuk
SMP masih kayak biasanya. Saking biasanya, ya biasa masih kayak orang bodoh. Tapi,
di SMP lah, aku kenal cewek berbody kecil, berponi indah, berkucir pita merah
satu yang terlihat rapi menghias kepalanya. Ani namanya.
Terlihat kecantikanya
ketika aku berjalan sambil menganga dan pada akhirnya, aku tersandung. Aku jatuh
dua kali. Yang pertama terjatuh dan hampir nyemplung di kubangan. Memang kagak
sakit, tapi malunya itu. Tapi aku sadar, kemaluanku tak seberapa. Jatuh yang
kedua yaitu, “jatuh cinta” kalau ini juga gak sakit, tapi sadar diri aja. Meski
dia cewek berbody kecil, tapi aku juga berbody lebih kecil.
“Kok bajumu
kotor kena lumpur? Main kubangan to?” Itu pertanyaanya ketika di awal
percakapan kami.
“Gak main
kubangan kok, Cuma tadi nyemplung, habisnya gerah, hehe” Jawabku.
“Kamu lucu
juga ya, aku Ani Eriyanti. Nama kamu?”
“Aku Teguh
Alif, salam kenal ya”
“Iya”
Sejak itu
kami jadi sering bermain bersama. Tapi syukurnya, gak main kubangan. Di kelaspun,
aku memilih duduk satu baris di belakangnya. Waktu itu, aku niat banget
ngedeketin dia. Tapi semua usahaku terganjal karna satu hal, aku pendek. Bahkan
dia memanggilku si cowok kontet. Memang kala itu aku belum sunat. Mitosnya,
cowok kalau tititnya udah dipotong, maka tinggi badanya akan bertambah. Sayangnya
si tititku belum berani dirapiin.
Suatu pagi
di kelasku, ada sebuah insiden. Ada salah satu teman sekelasku yang juga naksir
si cewek berkucir satu tersebut. Dia minta tempat dudukku yang memang tepat di belakang
si Ani. Jelas aku nolak. Tapi apa daya, temenku itu tadi berbadan cukup besar,
gempal pula. Kalau kala itu bodyku kecil mirip bayi monyet berbulu ketek lebat.
Tapi temanku ini berbody gempal mirip anak gajah berhidung pesek. Walau anak
gajah, tetap saja anak monyet tak bisa mengalahkan anak gajah.
Tapi anak
monyet tak habis akal. Si anak gajah tadi terus-terusan menggangguku yang tetap
mempertahankan tempat dudukku. Di kala itu, aku masih inget petuah Bapakku, “Jadi
cowok itu jangan cemen, lawan saja”. Beneran, aku lawan. Di penghujung akhir
pelajaran, ku putuskan untuk membalas perbuatan si anak gajah tadi. Aku pegang
pensil, aku tusuk kaki anak gajah tadi dengan pensil. Aku berharap dia kempes
dan berubah menjadi anaknya anak monyet. Tapi, gagal kempes.
“Kampret ya,
nantang!” Teriaknya si anak gajah. Ditariknya aku menuju luar kelas. Dicekiknya
aku, ditaboknya aku. Aku tetap melawan, pensil yang ada di tanganku, ku gunakan
sebagai senjata. Tapi gagal, ditepis tanganku, dan diludahinya aku. Bisa dibayangkan,
anak gajah menyiksa anak monyet berbulu lebat. Sungguh, tersiksa.
“Masih mau
nantang” Bentaknya.
“Masih mau
nantang!!!!!!” Teriaknya tambah keras. Dan aku hanya bisa berharap ada guru.
“Ampuuuuuuun”
Dengan bangga aku nangis.
(Kayaknya
cukup deh nyeritain bagian ini, “malu”)
Sejak insiden
tersebut, aku sudah tak duduk di bangku belakang Ani. Dan aku pun tak sedekat
dengan Ani seperti dulu. Mungkin Ani ilfil dengan cowok cengeng, atau mungkin
dia ilfil deket cowok kontet. Entahlah, yang pastinya dia ilfil dengan cowok mirip
anak monyet berbulu lebat, ya itu aku. Tapi aku yang sekarang bukanlah yang
dulu, sekarang aku lebih tinggi. Tapi, tetap pendek jika dibanding cowok
seumuranku, dan aku tetap culun.