Yap,
kata “kerja” adalah jargon dari presiden kita, Bapak Jokowidodo. Kali ini gue
mau berbagi cerita tentang pekerjaan gue, bukan tentang Si Pak Jokowi (tar
dikira aku njelekin, terus ditangkep). Orang Indonesia itu emang serba unik.
Kalau jadi pengangguran pengennya kerja biar dapet duit, tapi kalau ditawarin
pekerjaan pertanyaan pertamanya adalah “gajinya berapa?”. Kayak gini.
Pengangguran :
Susah ya gak punya kerja, apa-apa harganya mahal. Paketan internet mahal, harga
barang elektronik mahal, kebutuhan pokok melonjok. Ini gara-gara nilai tukar
rupiah makin ancur (Pengangguran berkelas).
Penawar : Eh, elu nganggur kan? Mau kerjaan
gak?
Pengangguran :
Iya ni, gue nganggur. Gajinya berapa?
Penawar : Ya elah, kerja aja belum udah nanya
gaji.
Nah,
kayak gitu tu orang Indonesia pada umumnya. Gue pernah lihat postingan di FB
yang aneh (menurut gue).
Ok,
gue certain tentang kerjaan gue.
1. Burger
(jadi tukang bikin burger)
Yap,
kayak di kartun di TV yang tokohnya berwana kuning, di air tapi gak ngambang.
SpongeBob. Gue pernah kerja di salah satu resto yang khusus jualan burger pas
masih kuliah. Gue kerja di tempat tersebut kurang lebih dua bulanan. Biasanya gue jualannya kalau pas
hari biasa di depan minimarket dari pukul dua siang, sampai pukul 10 malam.
Kalau pas Sabtu malam (bukan malam Minggu, karena gue pas itu lagi lajang)
biasanya jualan di salah satu mall yang tidak ingin disebutkan namanya
(Pokoknya mallnya berinisial CL di daerah Semarang). Pas di kampus gue ada
ospek, gue alihkan stan burger gue ke kampus. Gue gak sendiri, gue jualan
burger di kampus sama temen gue yang ingin disebutkan namanya. Ulil.
Bikin
burger itu gak segampang buang angin. Semuanya harus “bersih”. Kita diharuskan
menyusun tumpukan-tumpukan bahan makanan tanpa menyentuhnya. Gue masih inget
susunannya, Roti bagian bawah, daging (tentunya udah digoreng), timun, tomat,
disiram mayonais, selada (yang terkadang udah layu), saus, dan roti bagian
atas. Yap, dan itu semua harus jangan kena tangan kita.
Gue
masih inget pelanggan pertama gue. Bang Adi, TU di fakultas gue yang ternyata
rumahnya deket minimarket tempat gue jualan.
Waktu
itu pukul tiga sore, gue nunggu pelanggan dengan tetap memasang muka sok kece.
Gue liat sesosok manusia yang wujudnya tak asing di mata gue. Gede, gendut, dan
kece (bukan Genderuwo, karena Genderuwo gak kece). Gue panggil dia. “Bang
Adiiii…”
“Loh
Lif, udah diDO to?” kalimat pertama yang dilontarkan orang TU tadi.
“Ya
kagak lah Bang, spp gue kan lancer”.
“Iya-ya,
aku tahu. Jualan burger to?” tanyanya.
“Iya
ni, mumpung liburan bolehlah cari uang tambahan” jelas gue.
“Yaudah,
aku pesen dua burger yang paling mahal dan pedes ya. Aku tak masuk ke
minimarket dulu”
Setelah
Bang Adi keluar, siap sudah pesanan Bang Adi. Bang Adi gak tahu kalau gue masih
amatir, sempet gue nyusun burgernya pakek tangan. “Nih Bang pesenannya”
“Oh
iya. Yang satu buat kamu aja ya”
Gak
nyangka, Bang Adi sebaik itu.
2. Ngajar
di salah satu bimbingan belajar
Pas
udah jadi mahasiswa yang cukup tua (semester tujuh), gue udah mulai dapet
“kerja” yang sekiranya cocok dengan jurusan kuliah gue. Udah gak ada
penggorengan berminyak, udah gak ada roti yang sok bersih, udah gak ada
penjepit burger, dan yang pastinya udah gak ada pelanggan bawel.
Pas
gue PPL gue ditawarin ngajar di salah satu bimbel yang belum mau gue sebutkan
namanya. Yang pastinya gue ngajarnya sesua bidang gue, Bahasa dan Sastra
Indonesia khusus untuk anak SMP dan SMA (calon-calon cabe dan terong senior).
Ada hal yang cukup menantang gue ketika pertama gue ketemu murid di bimbel
tersebut. Gue masih inget nama murid itu, Erlalana.
Pas itu
gue masuk dan ucapkan salam di kelas yang bakal gue ajar. “Assalamuallaikum,
selamat Sore”
“Waallaikumsalam,
selamat Sore juga” teriak ucapan balik salam dari segerombolan anak yang cukup
unyu. “Loh bapaknya ini siapa?” tanya salah satu siswa yang namanya sudah tak
ingin aku sebutkan.
“Saya
gak salah kelas kok, pelajaran Bahasa Indonesia kan?”
“Iya
pak”
“Biasanya
yang ngajar siapa?”
“Siapa
ya pak, lupa. Pokoknya ibunya yang lucu” jawab Erlalana sambil main Handphone.
“Yaudah
saya tak nglucu juga” jawab gue.
“Kita
lihat seberapa lucunya Anda!!!” tantang Erlalana dengan nada menantang. Dan gue
hanya tersenyum lirih mengiyakan tantangannya.