Malam
itu gue pulang ngajar sekitar pukul 8 malam. Gue punya kebiasaan kalau laper
mendadak, cari makan di angkringan. Malam itu gue mampir di angkringan yang
biasanya gue jadiin tempat menghabisi nafsu makan. Kenapa milih angkringan? Banyak
pilihan makanan dan porsinya sedikit. Kalau di daerah Semarang, angkringan
terkadang disebut “kucingan” karena porsi makanannya yang sedikit bukan nasi
yang lauknya daging kucing lo.
Kala
itu gue pesen minuman, minuman yang sering gue pesen adalah es jeruk. Tak
seperti biasannya, rasa manis dan rasa asam dari es ini tak senikmat
malam-malam kemarin.
“Bang,
kok rasannya gak seenak biasanya ya?” Tanya gue.
“Gak
tau juga sih mas, padahal ya belinya juga di tempat dan dengan orang yang sama,
tapi kok gak pas ya rasannya” Ujar si penjual tersebut.
Dalam
hati, gue mencerna perkataan si abang tadi, “Di tempat dan dengan orang orang
yang sama, tapi kok gak pas ya rasannya”. Seperti rasa es jeruk ini, padahal
pembuatnya sama kayak malam kemarin, tapi kok gak pas rasannya. Gue jadi
teringat cerita temen gue yang bernama Budi (anggap saja namannya itu).
Ceritanya
kayak gini…
“Bud,
elu pernah gak sih ngrasa bosen sama Tia?” Tanya gue sama si Budi ketika gue
main ke rumahnya.
“Bosen?
Entahlah Lif, gue gak tau arti kata antara bosen dan nyaman dalam sebuah
hubungan” Jawab si Budi dengan enteng.
“Maksudnya
Bud?”
“Elu
tau kan, gue dulu pernah punya mantan. Fatma namanya” Terang si Budi. Gue hanya
ngangguk-ngangguk aja. “Lewat hubungan gue sama Fatma, gue belajar tentang
takaran PAS dalam berhubungan. Gak berlebihan dan gak kurang-kurang amat.
Gitulah”
“Lantas,
maksud dari takaran PAS dalam berhubungan itu kayak gimana Bud?” Tanya gue pada
Budi.
“Mungkin
gue certain aja ya, biar elu sendiri yang ambil simpulan dari cerita gue”
Sambil menyeruput kopi hangat, dia lanjut ceritanya. “Gue emang udah cukup lama
berhubungan sama Fatma, sejak SMA sampai udah lulus. Tiga tahunan lah. Gue
sering main ke rumahnya, begitu pula dia. Tapi, ada sebuah insiden yang
mengakibatkan kami bubar. Simpel sih masalahnya, karena orang tuanya. Setelah
lulus SMA, dia bekerja jadi asisten dokter, sedangkan gue? Hanya kerja
serabutan. Singkat ceritanya, dia kan kerjannya di deket kampus. Nah, pada
suatu ketika ada asdos di kampus tersebut deketin dia. Tapi si Fatma tetep
mencoba bersikap biasa aja. Tapi entah bagaimana, si asdos tadi tetep kekeh
dengan perjuangannya buat deketin si Fatma dan akhirnya si asdos tadi bisa
deketin keluarganya Fatma. Gue juga gak bisa nyalahin ortunya Fatma, namanya
aja juga orang tua, pengen liat anaknya hidup dengan keadaan ekonomi yang baik.
Alhasil ortunya Fatma lebih milih si asdos tadi daripada gue yang udah macarin
anaknya bertahun-tahun. Iyap, gue kalah harta. Bentar Lif, gue haus” dia
seruput lagi kopinya yang mulai mendingin.
“Pada
awalnya gue sama Fatma masih pengen merjuangin hubungan kami, kami masih sering
jalan bareng. Hingga pada akhirnya gue nekat nyamperin ortunya Fatma buat minta
restu. Tapi, inginku tak sesuai harapku. Gue di sana disidang bareng si Fatma dan
si asdos tadi. Fatma disuruh milih, dia milih gue, tapi ortunyana milih si
asdos. Tapi apalah daya, kandas pula. Pada pertemuan gue terakhir sama si
Fatma, kami ke tempat favorit kami, tempat di mana gue nembak dia. Elu tau Lif
apa yang kami rasakan? Tempat yang sama, dengan orang yang sama, tapi rasanya
beda. Ada kata-kata terakhir Fatma, (Elu tau kan, kita udah berjuang sekuat
ini. Tapi semuanya sudah tak sejalan dengan mimpi kita. Mungkin perasaanku saat
ini kayak yang elu rasaain. Gue ngerasa tempat ini udah biasa, dan elupun juga
udah biasa. Gue gak tahu ini apa). Semenjak itu gue dan Fatma udah gak
berhubungan. Gue sadar Lif, cintailah pasanganmu dengan PAS, gak lebih, dan gak
kurang. Gak lebih biar pasangan kita gak tertekan karena kita gak berlebihan
mencintainya. Karena gue ngerasaain, si Tia terlalu berlebihan mencintai gue,
gue tertekan Lif dengan segala perhatiannya. Satu hal lagi, jangan kurang dalam
mencintai pasangganmu karena itu juga nyiksa pasanganmu” Cerita si Budi
berakhir, seiring habisnya kopi yang dia minum. Tinggal ampasnya.
“Terus,
gimana rasa kopi yang elu minum?” Tanya gue mencoba menganalogikan dengan
secangkir kopi.
“PAS,
gak terlalu manis, juga gak terlalu pahit”
Kembali
ke cerita gue di angkringan tadi….
Gue
belajar beberapa kalimat. “Tempat yang sama dengan orang yang sama, tapi
rasannya berbeda” dan “Hubungan yang PAS, gak kurang dan gak lebih”. Seperti
halnya es jeruk ini, di beli di tempat dan dengan orang yang sama, tetapi
rasanya berbeda. Siapa yang salah? Bukan penjual ataupun pembelinnya. Tapi
jeruknya. Jeruk itu kayak cinta. Jika sepasang kekasih sudah tak ada rasa atau
getaran cinta, yang salah itu bukan mereka, tetapi memang sudah tidak ada rasa
di antara mereka. Dan itu gak bisa dipaksakan.
“Hubungan
yang PAS, gak kurang dan gak lebih” ibaratnya kayak secangkir kopi. Jika
takaran kopi dan gulanya gak PAS, rasanya pun tak sesuai. Setiap orang punya
selera tersendiri dalam menikmati secangkir kopi, selera itulah yang harus PAS.
Sama halnya dengan hubungan, setiap orang punya takaran cinta sendiri-sendiri
terhadap pasangannya. Takaran tersebutlah yang harus PAS. Tidak kurang, dan
tidak lebih.
“Bang,
kopi panas satu” Ucap gue ke abang-abang penjual di angkringan. Es jeruknya?
Entahlah, rasannya sudah tak senikmat biasanya. Kuharap kopi ini PAS.