Wednesday, July 15, 2015

Lebih Milih Kopi




Malam itu gue pulang ngajar sekitar pukul 8 malam. Gue punya kebiasaan kalau laper mendadak, cari makan di angkringan. Malam itu gue mampir di angkringan yang biasanya gue jadiin tempat menghabisi nafsu makan. Kenapa milih angkringan? Banyak pilihan makanan dan porsinya sedikit. Kalau di daerah Semarang, angkringan terkadang disebut “kucingan” karena porsi makanannya yang sedikit bukan nasi yang lauknya daging kucing lo.
Kala itu gue pesen minuman, minuman yang sering gue pesen adalah es jeruk. Tak seperti biasannya, rasa manis dan rasa asam dari es ini tak senikmat malam-malam kemarin.
“Bang, kok rasannya gak seenak biasanya ya?” Tanya gue.
“Gak tau juga sih mas, padahal ya belinya juga di tempat dan dengan orang yang sama, tapi kok gak pas ya rasannya” Ujar si penjual tersebut.
Dalam hati, gue mencerna perkataan si abang tadi, “Di tempat dan dengan orang orang yang sama, tapi kok gak pas ya rasannya”. Seperti rasa es jeruk ini, padahal pembuatnya sama kayak malam kemarin, tapi kok gak pas rasannya. Gue jadi teringat cerita temen gue yang bernama Budi (anggap saja namannya itu).
Ceritanya kayak gini…
“Bud, elu pernah gak sih ngrasa bosen sama Tia?” Tanya gue sama si Budi ketika gue main ke rumahnya.
“Bosen? Entahlah Lif, gue gak tau arti kata antara bosen dan nyaman dalam sebuah hubungan” Jawab si Budi dengan enteng.
“Maksudnya Bud?”
“Elu tau kan, gue dulu pernah punya mantan. Fatma namanya” Terang si Budi. Gue hanya ngangguk-ngangguk aja. “Lewat hubungan gue sama Fatma, gue belajar tentang takaran PAS dalam berhubungan. Gak berlebihan dan gak kurang-kurang amat. Gitulah”
“Lantas, maksud dari takaran PAS dalam berhubungan itu kayak gimana Bud?” Tanya gue pada Budi.
“Mungkin gue certain aja ya, biar elu sendiri yang ambil simpulan dari cerita gue” Sambil menyeruput kopi hangat, dia lanjut ceritanya. “Gue emang udah cukup lama berhubungan sama Fatma, sejak SMA sampai udah lulus. Tiga tahunan lah. Gue sering main ke rumahnya, begitu pula dia. Tapi, ada sebuah insiden yang mengakibatkan kami bubar. Simpel sih masalahnya, karena orang tuanya. Setelah lulus SMA, dia bekerja jadi asisten dokter, sedangkan gue? Hanya kerja serabutan. Singkat ceritanya, dia kan kerjannya di deket kampus. Nah, pada suatu ketika ada asdos di kampus tersebut deketin dia. Tapi si Fatma tetep mencoba bersikap biasa aja. Tapi entah bagaimana, si asdos tadi tetep kekeh dengan perjuangannya buat deketin si Fatma dan akhirnya si asdos tadi bisa deketin keluarganya Fatma. Gue juga gak bisa nyalahin ortunya Fatma, namanya aja juga orang tua, pengen liat anaknya hidup dengan keadaan ekonomi yang baik. Alhasil ortunya Fatma lebih milih si asdos tadi daripada gue yang udah macarin anaknya bertahun-tahun. Iyap, gue kalah harta. Bentar Lif, gue haus” dia seruput lagi kopinya yang mulai mendingin.
“Pada awalnya gue sama Fatma masih pengen merjuangin hubungan kami, kami masih sering jalan bareng. Hingga pada akhirnya gue nekat nyamperin ortunya Fatma buat minta restu. Tapi, inginku tak sesuai harapku. Gue di sana disidang bareng si Fatma dan si asdos tadi. Fatma disuruh milih, dia milih gue, tapi ortunyana milih si asdos. Tapi apalah daya, kandas pula. Pada pertemuan gue terakhir sama si Fatma, kami ke tempat favorit kami, tempat di mana gue nembak dia. Elu tau Lif apa yang kami rasakan? Tempat yang sama, dengan orang yang sama, tapi rasanya beda. Ada kata-kata terakhir Fatma, (Elu tau kan, kita udah berjuang sekuat ini. Tapi semuanya sudah tak sejalan dengan mimpi kita. Mungkin perasaanku saat ini kayak yang elu rasaain. Gue ngerasa tempat ini udah biasa, dan elupun juga udah biasa. Gue gak tahu ini apa). Semenjak itu gue dan Fatma udah gak berhubungan. Gue sadar Lif, cintailah pasanganmu dengan PAS, gak lebih, dan gak kurang. Gak lebih biar pasangan kita gak tertekan karena kita gak berlebihan mencintainya. Karena gue ngerasaain, si Tia terlalu berlebihan mencintai gue, gue tertekan Lif dengan segala perhatiannya. Satu hal lagi, jangan kurang dalam mencintai pasangganmu karena itu juga nyiksa pasanganmu” Cerita si Budi berakhir, seiring habisnya kopi yang dia minum. Tinggal ampasnya.
“Terus, gimana rasa kopi yang elu minum?” Tanya gue mencoba menganalogikan dengan secangkir kopi.
“PAS, gak terlalu manis, juga gak terlalu pahit”
Kembali ke cerita gue di angkringan tadi….
Gue belajar beberapa kalimat. “Tempat yang sama dengan orang yang sama, tapi rasannya berbeda” dan “Hubungan yang PAS, gak kurang dan gak lebih”. Seperti halnya es jeruk ini, di beli di tempat dan dengan orang yang sama, tetapi rasanya berbeda. Siapa yang salah? Bukan penjual ataupun pembelinnya. Tapi jeruknya. Jeruk itu kayak cinta. Jika sepasang kekasih sudah tak ada rasa atau getaran cinta, yang salah itu bukan mereka, tetapi memang sudah tidak ada rasa di antara mereka. Dan itu gak bisa dipaksakan.
“Hubungan yang PAS, gak kurang dan gak lebih” ibaratnya kayak secangkir kopi. Jika takaran kopi dan gulanya gak PAS, rasanya pun tak sesuai. Setiap orang punya selera tersendiri dalam menikmati secangkir kopi, selera itulah yang harus PAS. Sama halnya dengan hubungan, setiap orang punya takaran cinta sendiri-sendiri terhadap pasangannya. Takaran tersebutlah yang harus PAS. Tidak kurang, dan tidak lebih.
“Bang, kopi panas satu” Ucap gue ke abang-abang penjual di angkringan. Es jeruknya? Entahlah, rasannya sudah tak senikmat biasanya. Kuharap kopi ini PAS.