Monday, September 14, 2015

Kerja! Kerja! dan Kerja!




Yap, kata “kerja” adalah jargon dari presiden kita, Bapak Jokowidodo. Kali ini gue mau berbagi cerita tentang pekerjaan gue, bukan tentang Si Pak Jokowi (tar dikira aku njelekin, terus ditangkep). Orang Indonesia itu emang serba unik. Kalau jadi pengangguran pengennya kerja biar dapet duit, tapi kalau ditawarin pekerjaan pertanyaan pertamanya adalah “gajinya berapa?”. Kayak gini.
Pengangguran         : Susah ya gak punya kerja, apa-apa harganya mahal. Paketan internet mahal, harga barang elektronik mahal, kebutuhan pokok melonjok. Ini gara-gara nilai tukar rupiah makin ancur (Pengangguran berkelas).
Penawar                    : Eh, elu nganggur kan? Mau kerjaan gak?
Pengangguran         : Iya ni, gue nganggur. Gajinya berapa?
Penawar                    : Ya elah, kerja aja belum udah nanya gaji.
Nah, kayak gitu tu orang Indonesia pada umumnya. Gue pernah lihat postingan di FB yang aneh (menurut gue).


Ok, gue certain tentang kerjaan gue.
1.    Burger (jadi tukang bikin burger)



Yap, kayak di kartun di TV yang tokohnya berwana kuning, di air tapi gak ngambang. SpongeBob. Gue pernah kerja di salah satu resto yang khusus jualan burger pas masih kuliah. Gue kerja di tempat tersebut kurang lebih  dua bulanan. Biasanya gue jualannya kalau pas hari biasa di depan minimarket dari pukul dua siang, sampai pukul 10 malam. Kalau pas Sabtu malam (bukan malam Minggu, karena gue pas itu lagi lajang) biasanya jualan di salah satu mall yang tidak ingin disebutkan namanya (Pokoknya mallnya berinisial CL di daerah Semarang). Pas di kampus gue ada ospek, gue alihkan stan burger gue ke kampus. Gue gak sendiri, gue jualan burger di kampus sama temen gue yang ingin disebutkan namanya. Ulil.
Bikin burger itu gak segampang buang angin. Semuanya harus “bersih”. Kita diharuskan menyusun tumpukan-tumpukan bahan makanan tanpa menyentuhnya. Gue masih inget susunannya, Roti bagian bawah, daging (tentunya udah digoreng), timun, tomat, disiram mayonais, selada (yang terkadang udah layu), saus, dan roti bagian atas. Yap, dan itu semua harus jangan kena tangan kita.
Gue masih inget pelanggan pertama gue. Bang Adi, TU di fakultas gue yang ternyata rumahnya deket minimarket tempat gue jualan.
Waktu itu pukul tiga sore, gue nunggu pelanggan dengan tetap memasang muka sok kece. Gue liat sesosok manusia yang wujudnya tak asing di mata gue. Gede, gendut, dan kece (bukan Genderuwo, karena Genderuwo gak kece). Gue panggil dia. “Bang Adiiii…”
“Loh Lif, udah diDO to?” kalimat pertama yang dilontarkan orang TU tadi.
“Ya kagak lah Bang, spp gue kan lancer”.
“Iya-ya, aku tahu. Jualan burger to?” tanyanya.
“Iya ni, mumpung liburan bolehlah cari uang tambahan” jelas gue.
“Yaudah, aku pesen dua burger yang paling mahal dan pedes ya. Aku tak masuk ke minimarket dulu”
Setelah Bang Adi keluar, siap sudah pesanan Bang Adi. Bang Adi gak tahu kalau gue masih amatir, sempet gue nyusun burgernya pakek tangan. “Nih Bang pesenannya”
“Oh iya. Yang satu buat kamu aja ya”
Gak nyangka, Bang Adi sebaik itu.
2.    Ngajar di salah satu bimbingan belajar

Pas udah jadi mahasiswa yang cukup tua (semester tujuh), gue udah mulai dapet “kerja” yang sekiranya cocok dengan jurusan kuliah gue. Udah gak ada penggorengan berminyak, udah gak ada roti yang sok bersih, udah gak ada penjepit burger, dan yang pastinya udah gak ada pelanggan bawel.
Pas gue PPL gue ditawarin ngajar di salah satu bimbel yang belum mau gue sebutkan namanya. Yang pastinya gue ngajarnya sesua bidang gue, Bahasa dan Sastra Indonesia khusus untuk anak SMP dan SMA (calon-calon cabe dan terong senior). Ada hal yang cukup menantang gue ketika pertama gue ketemu murid di bimbel tersebut. Gue masih inget nama murid itu, Erlalana.
Pas itu gue masuk dan ucapkan salam di kelas yang bakal gue ajar. “Assalamuallaikum, selamat Sore”
“Waallaikumsalam, selamat Sore juga” teriak ucapan balik salam dari segerombolan anak yang cukup unyu. “Loh bapaknya ini siapa?” tanya salah satu siswa yang namanya sudah tak ingin aku sebutkan.
“Saya gak salah kelas kok, pelajaran Bahasa Indonesia kan?”
“Iya pak”
“Biasanya yang ngajar siapa?”
“Siapa ya pak, lupa. Pokoknya ibunya yang lucu” jawab Erlalana sambil main Handphone.
“Yaudah saya tak nglucu juga” jawab gue.
“Kita lihat seberapa lucunya Anda!!!” tantang Erlalana dengan nada menantang. Dan gue hanya tersenyum lirih mengiyakan tantangannya.

Wednesday, July 15, 2015

Lebih Milih Kopi




Malam itu gue pulang ngajar sekitar pukul 8 malam. Gue punya kebiasaan kalau laper mendadak, cari makan di angkringan. Malam itu gue mampir di angkringan yang biasanya gue jadiin tempat menghabisi nafsu makan. Kenapa milih angkringan? Banyak pilihan makanan dan porsinya sedikit. Kalau di daerah Semarang, angkringan terkadang disebut “kucingan” karena porsi makanannya yang sedikit bukan nasi yang lauknya daging kucing lo.
Kala itu gue pesen minuman, minuman yang sering gue pesen adalah es jeruk. Tak seperti biasannya, rasa manis dan rasa asam dari es ini tak senikmat malam-malam kemarin.
“Bang, kok rasannya gak seenak biasanya ya?” Tanya gue.
“Gak tau juga sih mas, padahal ya belinya juga di tempat dan dengan orang yang sama, tapi kok gak pas ya rasannya” Ujar si penjual tersebut.
Dalam hati, gue mencerna perkataan si abang tadi, “Di tempat dan dengan orang orang yang sama, tapi kok gak pas ya rasannya”. Seperti rasa es jeruk ini, padahal pembuatnya sama kayak malam kemarin, tapi kok gak pas rasannya. Gue jadi teringat cerita temen gue yang bernama Budi (anggap saja namannya itu).
Ceritanya kayak gini…
“Bud, elu pernah gak sih ngrasa bosen sama Tia?” Tanya gue sama si Budi ketika gue main ke rumahnya.
“Bosen? Entahlah Lif, gue gak tau arti kata antara bosen dan nyaman dalam sebuah hubungan” Jawab si Budi dengan enteng.
“Maksudnya Bud?”
“Elu tau kan, gue dulu pernah punya mantan. Fatma namanya” Terang si Budi. Gue hanya ngangguk-ngangguk aja. “Lewat hubungan gue sama Fatma, gue belajar tentang takaran PAS dalam berhubungan. Gak berlebihan dan gak kurang-kurang amat. Gitulah”
“Lantas, maksud dari takaran PAS dalam berhubungan itu kayak gimana Bud?” Tanya gue pada Budi.
“Mungkin gue certain aja ya, biar elu sendiri yang ambil simpulan dari cerita gue” Sambil menyeruput kopi hangat, dia lanjut ceritanya. “Gue emang udah cukup lama berhubungan sama Fatma, sejak SMA sampai udah lulus. Tiga tahunan lah. Gue sering main ke rumahnya, begitu pula dia. Tapi, ada sebuah insiden yang mengakibatkan kami bubar. Simpel sih masalahnya, karena orang tuanya. Setelah lulus SMA, dia bekerja jadi asisten dokter, sedangkan gue? Hanya kerja serabutan. Singkat ceritanya, dia kan kerjannya di deket kampus. Nah, pada suatu ketika ada asdos di kampus tersebut deketin dia. Tapi si Fatma tetep mencoba bersikap biasa aja. Tapi entah bagaimana, si asdos tadi tetep kekeh dengan perjuangannya buat deketin si Fatma dan akhirnya si asdos tadi bisa deketin keluarganya Fatma. Gue juga gak bisa nyalahin ortunya Fatma, namanya aja juga orang tua, pengen liat anaknya hidup dengan keadaan ekonomi yang baik. Alhasil ortunya Fatma lebih milih si asdos tadi daripada gue yang udah macarin anaknya bertahun-tahun. Iyap, gue kalah harta. Bentar Lif, gue haus” dia seruput lagi kopinya yang mulai mendingin.
“Pada awalnya gue sama Fatma masih pengen merjuangin hubungan kami, kami masih sering jalan bareng. Hingga pada akhirnya gue nekat nyamperin ortunya Fatma buat minta restu. Tapi, inginku tak sesuai harapku. Gue di sana disidang bareng si Fatma dan si asdos tadi. Fatma disuruh milih, dia milih gue, tapi ortunyana milih si asdos. Tapi apalah daya, kandas pula. Pada pertemuan gue terakhir sama si Fatma, kami ke tempat favorit kami, tempat di mana gue nembak dia. Elu tau Lif apa yang kami rasakan? Tempat yang sama, dengan orang yang sama, tapi rasanya beda. Ada kata-kata terakhir Fatma, (Elu tau kan, kita udah berjuang sekuat ini. Tapi semuanya sudah tak sejalan dengan mimpi kita. Mungkin perasaanku saat ini kayak yang elu rasaain. Gue ngerasa tempat ini udah biasa, dan elupun juga udah biasa. Gue gak tahu ini apa). Semenjak itu gue dan Fatma udah gak berhubungan. Gue sadar Lif, cintailah pasanganmu dengan PAS, gak lebih, dan gak kurang. Gak lebih biar pasangan kita gak tertekan karena kita gak berlebihan mencintainya. Karena gue ngerasaain, si Tia terlalu berlebihan mencintai gue, gue tertekan Lif dengan segala perhatiannya. Satu hal lagi, jangan kurang dalam mencintai pasangganmu karena itu juga nyiksa pasanganmu” Cerita si Budi berakhir, seiring habisnya kopi yang dia minum. Tinggal ampasnya.
“Terus, gimana rasa kopi yang elu minum?” Tanya gue mencoba menganalogikan dengan secangkir kopi.
“PAS, gak terlalu manis, juga gak terlalu pahit”
Kembali ke cerita gue di angkringan tadi….
Gue belajar beberapa kalimat. “Tempat yang sama dengan orang yang sama, tapi rasannya berbeda” dan “Hubungan yang PAS, gak kurang dan gak lebih”. Seperti halnya es jeruk ini, di beli di tempat dan dengan orang yang sama, tetapi rasanya berbeda. Siapa yang salah? Bukan penjual ataupun pembelinnya. Tapi jeruknya. Jeruk itu kayak cinta. Jika sepasang kekasih sudah tak ada rasa atau getaran cinta, yang salah itu bukan mereka, tetapi memang sudah tidak ada rasa di antara mereka. Dan itu gak bisa dipaksakan.
“Hubungan yang PAS, gak kurang dan gak lebih” ibaratnya kayak secangkir kopi. Jika takaran kopi dan gulanya gak PAS, rasanya pun tak sesuai. Setiap orang punya selera tersendiri dalam menikmati secangkir kopi, selera itulah yang harus PAS. Sama halnya dengan hubungan, setiap orang punya takaran cinta sendiri-sendiri terhadap pasangannya. Takaran tersebutlah yang harus PAS. Tidak kurang, dan tidak lebih.
“Bang, kopi panas satu” Ucap gue ke abang-abang penjual di angkringan. Es jeruknya? Entahlah, rasannya sudah tak senikmat biasanya. Kuharap kopi ini PAS.

Thursday, April 30, 2015

Panggil Gue Penyihir Kata-kata, S. Pd.



Apa kabar semuanya? Puji syukur sepantasnya kita haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada kita.
STOP!!! Udah pantes apa belum gue nulis tulisan kayak anak berpendidikan? Lumayan mungkin. Yap, gue mau ngasih kabar baik dan kabar buruk, kabar baiknya adalah gue udah lulus kuliah dan udah mendapatkan gelar “sarjana” panggil gue “Penyihir Kata-kata, S. Pd”. Sedangkan kabar buruknya adalah gue udah lulus, dan bertambahlah pula pengangguran di bumi Indonesia.
Banyak kejadian yang gue alami selama menyelesaikan skripsi, dari rusaknya lcd laptop, rusaknya printer, rusaknya hati gue, sampe punya pacar anak Solo. Setelah gue pahami, proses dari semua itu, mengajarkan kita tentang siapa yang bertahan dan tidak tahan dengan siksaan skripsi. Sungguh. Dari yang ngabisin kertas ribuan lembar, ngabisin uang, ngabisin tenaga, juga nambah jerawat.
Sebenarnya gue gak 100% nganggur, karena tiap sore gue ngajar di salah satu tempat bimbingan belajar, sebut saja Primagama. Gue udah ngajar di Primagama sejak akhir tahun 2014. Terkadang secara gak langsung gue ngajar sambil nganalisis novel sebagai bahan skripsi gue. Ngajar plus nyelesein skripsi itu merupakan pekerjaan yang cukup melelahkan. Bayangin aja, pagi sampai siang bimbingan, sore sampai malem ngajar dan malem sampe subuh ngrevisi. Hampir kayak gitu lah selama beberapa bulan.
Gue sempet tercengan dengan cita-cita murid gue yang absurd mengenai skripsi. Waktu itu gue habis sidang skripsi dan sorenya gue langsung ngajar. Gue ngajar dengan masih makek seragam sales dan dengan tas besar penuh dengan buku dan revisian skripsi.
“Pak, kok hari ini beda ya pak” kata Raka, salah satu murid gue.
“Beda gimana? Perasaan masih sama aja, masih jelek. Dan jelek pun gak cakep-cakep amat” kata gue.
“Gak gitu pak, maksudnya itu lo, kok pakek pakaian item putih, tasnya gede, sama bawa buku tebel” jawab Raka sambil nunjuk ke arah skripsi gue.
“Owh ini, tadi Pak Alif habis siding skripsi, jadi masih berkostum aneh kayak gini. Ini bukan buku, tapi ini skripsinya Pak Alif yang tadi habis buat sidang” jelas gue ke dia.
“Itu to pak yang namanya skripsi, boleh pinjem pak” lalu gue kasih skripsi gue ke dia. “Tebel ya pak, ini Pak Alif semua yang ngetik?” Tanya Raka sambil membolak-balik tiap lembar skripsi gue.
“Iya, itu Pak Alif semua yang ngetik”
“Pak, katanya kalau skripsi itu bisa beli ya pak? Bisa bayar orang gitu buat bikinin” Tanya Raka.
“Katanya sih gitu, tapi gak tahu juga” jawab gue singkat.
“Kalau setebel ini, aku mau nyicil skripsi deh pak!”
Gue tercengan dengan pernyataan anak kelas tiga SMP itu. Lalu gue jawab “Ya Allah Rak, itu cita-citamu? Absurd banget kalau kamu mau nyicil skripsi dari sekarang. Kita bayangin saja, kamu sekarang kelas tiga SMP, kamu harus SMA tiga tahun, kuliah S-1 empat tahun. Itu mbutuhin waktu tujuh tahun Rak, Ya Allah Rak. Emang judul skripsi apa? Kamu kuliah di mana? Sadar Rak”
“Gini lo pak, maksudku nyicil itu adalah ngumpulin duit dari sekarang. Jadi, kalau udah kuliah, duitku banyak. Tinggal bayar orang buat ngerjain skripsiku” begitulah pernyataan Raka. Seketika gue masang muka datar dan langsung ngelanjutin pelajaran.
Gue seringnya ngajar di daerah Tlogosari, Semarang. Selain itu gue juga ngajar di Pucang Gading deket TVRI Jawa Tengah. Gue juga pernah ngajar di SMPN 21 Semarang. Ketika gue balik dari SMPN 21 tersebut, biasanya gue lewat di daerah deket Undip yang jelas banyak seliwar-seliwer mahasiswa. Kala itu gue naik motornya nyante, dan di tengah perjalanan HP gue geter, gue berhenti, dan ternyata sepupu gue telepon. Selesai ngangkat telepon, ada dua mas-mas yang gue kira-kira mereka umurnya di atas gue sedikit minta tolong. Ke dua mas-mas tersebut ndorong motor mereka.
“Mas, bantuin dong mas dorongin motor kami ke SPBU. Bensin kami abis mas” kata mas-mas yang berambut gondrong.
“Boleh deh mas” jujur, gue sebenarnya takut.
“Biar gak ngrepotin banget, temenku naik motor kami, aku naik motornya masnya tapi yang depan, masnya bonceng saja” jelas masnya yang berambut gondrong sambil seperti member komando ke temennya yang sedikit berewok tipis rapi.
“Gak usah mas, aku aja yang depan, masnya yang bonceng”
Akhirnya mas-mas yang gondrong tadi bonceng di motorku, terus temennya di motor mereka, gue tetep di motor gue. Setelah beberapa meter, kaki gue gak kuat dorong.
“Mas, aku aja yang depan, kayaknya masnya gak kuat” mas-mas gondrong minta rubah formasi.
Akhirnya gue tarik napas, dan bilang “Gini mas, kita kan baru ketemu tadi, aku juga gak kenal mas-masnya. Jujur mas, aku takut kalau profesi mas-masnya itu begal. Aku takut kalau nantinya aku yang bonceng, tiba-tiba masnya nyikut mukaku, aku jatuh, dan mas-masnya bawa kabur motorku”
Kedua mas-mas tadi langsung berpandangan dan sedikit senyum. Lalu mas-mas yang agak brewok tadi bicara dengan logat orang luar Jawa, “Ya Allah mas, kok segitunya to mas. Tenang saja mas, kami mahasiswa Undip, bukan begal kami mas. Kami orang Kalimantan mas, kami gak berani cari masalah di Jawa”
Akhirnya dengan dua kaki dari kakiku dan kakinya mas yang gondrong, kami berhasil ndorong motor itu sampai di SPBU. Sebelum berpisah, masnya yang gondrong sempat mengucapkan pernyataan yang bikin gue malu, “Gimana mas, kami gak begal kan”.

Thursday, February 26, 2015

Lo Mantan atau Setan?






 
            Semua orang mungkin sepakat, mantan adalah orang yang pernah berarti bagi hidup kita, tetapi juga pernah bikin hidup kita ANCUR. Yap, sekali lagi gue mbahas tentang makhluk ababil ini. Dan gue tegasin, gue mbahas mantan, bukan berarti belum bisa move on. Menurut gue, mbahas mantan adalah hanya sekadar berbagi cerita saja. Cerita yang gue bagi pun juga ada batasan, gue tahu batasan cerita. Simpelnya, gue tahu mana yang pantas gue bagi, dan mana yang kagak pantes buat  dibagi. Ibaratnya, gak mungkin kan gue mbagi upil ke orang-orang, mendingan kan buat gue sendiri.
            Bicara tentang batasan, kali ini gue mau mbahas tentang mantan gue yang mungkin kurang tahu atau mungkin gak tahu tentang batasan. Anggep aja namanya Lala. Lala itu orangnya radak mungil, gak begitu putih, pokoknya beda lah sama Lala yang biasanya ditonton anak kecil di Teletubbies. Lala itu salah satu mantan gue yang paling sering minta balikan. Tapi jujur, gue gak mau balikan sama dia, karena bagi gue balikan sama mantan itu kayak ngulangin kesalahan yang pernah diperbuat. Ibarat kata, kayak sunat, sunat itu bagi cowok sakit dan gue yakin gak ada cowok yang mau disunat untuk kedua kalinya. Hmm, kita sepakatin dulu, di sini gue gak nyamain mantan sama itunya cowok yang disunat lo. Ehmm, kok malah mbahas kek gitu to, ok fokus.
            Mungkin Lala gak suka dengan keputusan gue buat mutusin dia. Yap, gini-gini gue juga pernah mutusin cewek. Kenapa gue mutusin dia? Asalkan kalian tahu, selama pacaran sama dia, gue cukup tersiksa, bayangin, dia over banget, suka ngatur-ngatur, nglarang-nglarang, masak gue ngupil aja harus izin dulu sama dia, kan udah penuh di idung gue. Kok jadi terkesan gue kayak cowok yang menjijikkan ya.
            Ok. Kita fokus pada ceritanya.
            Jadi gini, memang gue udah putus sama si Lala tadi, Tapi dia masih suka ngerecokin idup gue. Tiap kali gue punya cewek atau gebetan, dia selalu mencoba ngegaggu hubungan gue sama cewek atau pun gebetan gue. Caranya pun beragam, tetapi lebih seringnya dia ngerecokin di facebooknya cewek atau gebetan gue. Biasanya dia akan nge-add, ngelike sebanyak-banyaknya status, dan terkadang ngirim pesan. Nginboxnya ngaku-ngaku masih jadi pacar gue. Cewek-cewek yang di inbox sama dia pun beragam tanggepanya, ada yang bilang dia adalah cewek aneh, ada yang nganggep “Lumayan, buat hiburan”.
            Tapi dari beragam ke konyolanya, ada satu kekonyolan yang bikin gue sempet jengkel sejengkel-jengkelnya orang jengkel. Suatu saat murid gue yang bernama Dian yang juga tetangganya si Lala cerita sama gue, (Bagi yang bingung dengan kata “murid gue” gue kasih tahu, gue saat ini juga kerja sebagai tenaga pengajar di salah satu bimbingan belajar ternama di Indonesia). “Pak, mbak Lala mau oprasi lo” Kata Dian sebelum kelas dimulai.
            “Oprasi? Serius?” Tanya gue dengan nada radak kaget.
            “Iya pak! Serius. Katanya sih Minggu depan”
            “Bentar-bentar, ini gak bercanda to? Sakit apa emangnya?” Tanya gue lagi.
            “Hih, Pak Alif gak percayaan. Mbak Lala sakit ****** “ Kata Dian dengan nada meninggi.
            Selesai mengajar kelasnya Dian, gue langsung nanya langsung ke Lala lewat BBM. Dan ternyata benar. Dia sakit, dan mau dioprasi. Sejenak gue berpikir. Walaupun dia itu orangnya ngeselin dan suka ngrecokin idup gue, tetapi dia lakuin itu mungkin karena masih “peduli”. Lewat kata “peduli” tersebut, gue mencoba mengaplikasikan kata “peduli” ke dia. Gue langsung bilang ke dia “Kamu yang semangat ya, yang tabah, kalau aku ada waktu longgor, aku usahain njengukin kamu di rumah sakit”.
            Tetapi keadaan pun tak bersahabat. Tak selamanya niat baik itu bisa terpenuhi. Terkadang Tuhan juga punya cara lain mengenai “niat” kita. Tiba-tiba gue harus ngasih jam tambahan di Bimbel, tiba-tiba ada kepentingan keluarga, dan tiba-tiba gue dikejar skripsi gue. Alhasil rencana buat jengukin si Lala gagal. Tiba-tiba dia bikin status “Yang katanya janji buat jengukin tapi tiba-tiba ngilang ya ada ya”. Apa boleh buat, mungkin kalau gue jelasin tetep aja alasan gue gak dianggep.
            Beberapa minggu setelah kejadian itu, keanehan Lala sudah dimulai lagi. Dia jadi aneh lagi. Selain Dian yang tetangganya, dia juga punya tetangga yang satu sekolahan sama Iva (Adik gue yang paling besar). Tetangganya itu cerita sama Iva dengan alur cerita yang sudah dibuat-buat lagi. Tiba-tiba gue ditanya nyokap.
            “Lif, mantanmu ada yang habis oprasi ya?” Tanya nyokap.
            “Mantan? Oprasi?” Tanya gue dengan muka polos.
            “Udah deh gak usah kaget. Tadi pas jengukin Iva di Pondok (Adik gue mondok), Iva cerita kalau kamu ingkar janji. Katanya mau nemenin mantanmu di rumah sakit” jelas nyokap gue.
            “Bentar-bentar, Iva kok tahu?” Tanya gue.
            “Kata Iva, Iva dikasih tahu sama tetanggane si mantanmu tadi. Makanya, kalau janji tu ditepatin. Kalau kamu ingkar janji kayak gini kan kasihan Iva di sekolah, karena tahu berita tersebut”.
            “Tapi aku tu gak janji, Cuma bilang kalau ada waktu mau tak jengukin dia”.
            Obrolan tersebut berakhir dengan sesi nasihat dari nyokap gue.
            Gue berpikir lagi. Kenapa masalah sepele kayak gini harus masuk ke keluarga gue. Iva gak tahu apa-apa juga kena imbas keanehan Lala. Mungkin dia belum bisa paham dengan makna “batasan” dalam bercerita.
            Gue masih berpikir. Pada awalnya kita sudah berniat “peduli”, tetapi niat itu hanya jadi niat saja. Niat itu sendiri sudah ada kemauan, tetapi mungkin orang-orang lebih melihat dari segi hasil, bukan dari segi proses. Sebenarnya proseslah yang harus dititik beratkan untuk diperhatikan dan dinilai.