Monday, November 18, 2013

Culun + Nahan Boker = Garing


Bagian 1
            Ya kenapa garing? Jelas garing kalau orang yang seculun aku ikutan acara Stand Up Comedy. Walaupun Cuma sekaliber kampus, tetep aja garing. Aku lebih suka nglawak lewat tulisan. Karena jika nulisnya salah bisa dihapus. Beda kalau ngomong, gak mungkin kan omongan kita dihapus terus diulang. Gak ada tombol Backspace.
            Dilihat ratusan orang bikin kita di depan lebih mirip orang gila yang gagal gila. Gak lucu kan. Sama, aku juga. Apalagi nunggu giliran maju, kita lebih mirip kayak seorang suami yang nungguin istrinya lahiran tapi sang suami juga nahan boker. Kebayang gak? Teriak-teriak “Ayo keluarin, ayo keluarin” nah, mana yang mau dikeluarin? Si jabang bayi, apa kotoran dalam perut. Tapi untungnya ketika sudah maju, LEGA. Mirip ketika kita udah pup, walaupun di celana.
            Ketika sudah di depan, hanya ada 2 pilihan. 1. Bikin tertawa 2. Kita yang ditertawain karena garing. Tapi apalah pilihanya, yang penting tetap bikin tertawa. Bedanya kita lucu atau jadi bahan lelucon.
            Sebenarnya ikut Stand Up Comedy bukanlah pilihan saya. Tapi, dipaksa. Mending diperkosa daripada dipaksa. Karena, jika diperkosa dan kita tidak bisa melawan, nikmati saja. Toh juga enak. Kalau dipaksa? Entahlah, menurutku gak ada pilihan. Aku juga masih bingung, kenapa harus dipaksa aku. Alasanya, mukaku itu mirip Raditya Dika. Padahal apa? Gak sama sekali. Mukaku lebih mirip perpaduan antara culun ditambah ekspresi nahan boker, terus ditambah ekspresi ketauan nyolong daleman nenek-nenek jablai. Gak banget gitu.
            Acara memang cukup meriah, tapi ada jeda untuk istirahat. Aku manfaatin buat nulis tulisan ini. Sebentar, hasil juaranya nanti dibaca paling akhir aja. Kalian tau bagaimana rasanya nunggu pengumuman? Mirip kalau kita udah lega maju, dan rasanya kayak pup dicelana. Jadi sama. Ini kotoran mau dibuang kemana? Lengket di celana, ketauan gak ya? Nah begitulah rasanya.
BENTAR, SAYA MASIH NUNGGU PENGUMUMANYA.
Bagian 2
            Kalau di bagian 1, aku nulis ketika sedang istirahat. Tapi pada bagian 2 ini, aku udah pulang dan nulis di rumah. Sebentar aku mau curhat. Setelah pulang, ternyata hujan. Walaupun udah make mantel rempong, tetep aja dingin. Alhasil aku nulis di bagian 2 ini dengan posisi ngangkremin bantal sambil ditemenin susu anget. Kebayang gak? Kalau gak yaudah.
Oke saya lanjut.
            Nah pengumuman pemenang sudah diumumkan. Aku duduk di bangku penontot dengan ditemani seorang Mahasiswi semester tua, tapi gak mau dipanggil “mbak” sebut saja dengan inisial “Jumi” (owh bukan inisial to). Dialah tersangka utama yang nyuruh-nyuruh aku sok-sok’an ikut Stand Up Comedy.
            Memang sudah ku sangka, kalau aku KALAH. Ya..... Sama sekali gak akan nyesel. Kenapa? Aneh aja kalau leluconku yang garing ini jadi juara.
            Tapi aku tetap berterimakasih kepada semua pihak yang mendukungku. Buat mbak-mbak Asrama Unissula, terkhusus Jumi’, buat kawan-kawan seangkatan juga makasih do’anya. Ma’af uang hadiahnya belum tak dapetin, sehingga hutang-hutangku belum bisa lunas sekarang (Loooooh). Juga buat adek-adek angkatanku yang tadi melihat, sampai sempet buat status karna temaku yang membawa “Bahasa dan Sastra Indonesi” statusnya kayak gini, Applause buat tema Empresa Aliph di stand up comedy unissula.

           Semua terimakasih.... KALIAN LUAR BIASA.... (Udah mirip kata pengantar penulis hebat apa belum? Hehe) Owh iya, itu foto hiburan. Gak aku kasih foto ketika diatas panggung karena file masih di panitia. Seadanya ajalah.....

Saturday, November 16, 2013

Tertolong Oleh Keculunanku



        16 November 2013, Band NOAH berkunjung ke Semarang. Sebagai salah satu fans, tentu aku akan hadir. Tapi masih bingung sama siapa aku nantinya datang? Bahkan sampai aku promisikan diriku di jejaring sosial facebook, seperti ini Ada yg mau tak ajak nonton NOAH breng gak? GAK ADA.! Yaudah, terimakasih. @kata dosen "sama-sama". Yaudah brangkat sendiri. Yaudah ati-ati. Yaudah iya. Yaudah sana berangkat. Yaudah nanti berangkat sendiri. Yaudah. Yaudah. Tapi, tetap saja tidak ada yang tertarik ku ajak.
            Ku buka kontak HP, tidak ada satupun gebetan yang ada. Aku buka whatsapp dan ku inbox teman cowok. Juga tidak tertarik buat nonton. Apa boleh buat, ku berniat berangkat sendiri. Tapi ketika sore hari, sepupuku sampin rumah mengajugan diri untuk ikut nonoton. Tapi apa? Aku tolak. Kenapa? Dia cewek, dan yang paling ngeri, dia hamil. Katanya ngidam pingin liat Ariel. Coba deh bayangin jika aku ngajak. Dengan perut buncitnya, bisa saja hal-hal yang buruk terjadi. Misal, dia tiketnya bayarnya dobel. Tekor aku nantinya. Akhirnya aku berangkat sama spupuku yang cowok.
            Sesampainya disana, benar. Rame. Spupuku nyuruh aku beli tiket, dia nongkrong sama temanya yang kala itu jadi tukang parkir. Ini kali pertama aku beli tiket konser. Calo-calo berkeliaran, menjajakan tiket mirip menjajakan narkoba. Dari kejauhan suara cewek memanggilku. Dengan muka polos aku bilang tanggapi panggilanya.
            “Alif kan?” tanya seorang cewek yang lumayan cantik.
            “Iya, siapa ya?”
            “Ini aku, Ani. Yang nolak kamu pas SMA” terangnya.
            Sumpah, kata “nolak” merupakan kata pemperkosaan yang keji bagiku. “Ani yang mana? Mungkin mbaknya salah orang kali. Tapi kalau nolak orang culun kayak aku ini, itu baru bener”
            Lalu dateng seorang cowok berperawakan alay-alay. “Ani, jadi dia slingkuhan kamu? Gak nyangka ya, orang jelek kayak gini yang kamu pilih. Bakalan nyesel kamu”. Sumpah, aku linglung kayak orang ngempet buang hajat besar. Ini apa?
            Akhirnya cowok tadi pergi. Dan si Ani tadi sebelum pergi bilang “makasih, aku tau namamu dari percakapanmu sama masmu tadi diparkiran”. Kini aku sadar, aku korban, korban dari drama Ani. Dan aku sadar, orang culun bisa ngalahin orang Alay.
            Sesampainya di dalam, ribuan orang berjingkrak-jingkrak ria. Ini yang mengkhawatirkan. Bisa saja aku yang sering dikira cewek bisa jadi korba pelecehan seksual. Atau mungkin yang lebih parahnya, aku yang pendek ini bisa gepeng terinjak-injak penonton lainya.
            Aku dan spupuku lumayan dekat dengan panggung. Lumayan dekat pula dengan copet-copet. Benar, semuanya jingkrak-jingkrak gak jelas. Termasuk spupuku. Kenapa harus dengan cara seperti ini mereka menikmati musik. Dengarkan dan nikmati saja menurutku cukup. Tapi pada akhirnya aku juga ikut bernyanyi. Mungkin dikala ini aku bisa pamer olah vokalku yang mirip banci kesetrum. Gak bakalan ada yang nglarang.
            Pada akhirnya ada sebuah kejadian. Ada seorang pria yang berprawakan pendek. Dengan sangat jelas, aku melihat tanganya dengan trampil mengambil dompet penonton di depanya. Lalu dia tersenyum padaku da pergi. Aku harus bagaimana? Muka culunku tidak bisa meyakinkan orang. Itu pasti. Sang pemilik dompet menyadari kalau dompetnya hilang. Dia melihatku dengan wajah curiga. Mungkin karena aku yang tadi melihatnya terus, jadi aku yang dianggap tersangka.
            “COPET.......!!!!” teriaknya sambil menunjukku. Sontak sekeliling kami melihatku. Untung spupuku yang berprawakan besar segera merangkulku dan berteriak “Heh gila ya, orang culun kayak gini dituduh copet” sempat aku berbisik pada spupuku “tapi kagak usah nyebut culun juga kampret....”. Petugas keamanan menggeledahku. Bukti tidak ditemukan. Tuduhan tadi memang gak seberapa. Tapi malunya itu yang luar biasa.
            Mungkin benar, “culunku adalah malaikatku”.

Tuesday, November 12, 2013

Mau Jadi Buruh Aja Deh



Terkadang aku bingung dengan keadaan Negara ini. Kalau bisa digambarkan, negara ini mirip dengan kandang atau kebun binatanglah. Bagaimana tidak, semua ada, mulai tikus berdasi, bajing lompat, musang berbulu domba, bahkan buaya darat. Hampir lengkap. Dan mungkin rakyat Indonesia sendiri bisa digambarkan sebagai kambing, dikasih makan mbeeeek, gak dikasih juga mbeeeek. Persis, gak dikasih minta, dikasihpun juga bilang kurang.
Misal, UMR (gaji) para buruh tiap tahunya selalu meningkat. Tetapi realitanya tetap ada kan demo para buruh minta kenaikan gaji. Itulah sifat kambing. Uang memang membuat segalanya berubah. Lebih mending kambing sih, ketimbang srigala berbulu domba. Apa gak malu bulunya yang lurus jadi gimbal.
Ada sebuah cerita, tetanggaku ada yang bekerja sebagai buruh. Dia diajak demo sama teman-temannya, dia diancam, jika tidak ikut demo, maka dianggap cemen. Untungnya dia gak ikut demo, karna anaknya sunatan. Mungkin titit anaknya yang dipotong pak mantri membawa berkah, sebab teman-temanya yang demo semuanya dipecat tanpa pesangon. Ironis. Tapi inilah negri yang mirip kebun binatang.
Lantas pekerjaan apa yang bermartabat? Mau jadi polisi, tapi polisi di Indonesia dianggap preman berseragam. Bahkan nembakin warga yang gak bersalah. Emangnya warga itu maling, padahal polisinya yang maling. Mau jadi dokter, tapi beaya kuliahnya mahal. Sempat terfikirkan tentang nasib anakku kelak, nantinya aku suruh jadi apa? Buruh nampaknya cocok. Sebab di Jakarta sendiri UMR tahun 2014 kemungkinan 2,4 Juta. Kalau 25 tahun kemudian naik jadi berapa?
Coba bayangin dialog anak kita ketika besok sudah sekolah di bangku SD
Guru : Anak-anak, besok kalau sudah gede mau jadi apa?
Anak : Jadi buruh bu. (jawab serentak)
Guru : (dengan masang muka bengong) Loh kenapa jadi buruh?
Anak : Gajinya gede bu. Lagian gak butuh ijazah sebagai Mahasiswa, cukup lulus SMA. Dan yang lebih penting, gak bakalan korupsi.
Guru : Bagus (dengan muka terharu)
Ironis kan. Mungkin guru tersebut juga nyesel jadi guru.

Aku, Korban PHP



        

         Sore menjelang malam itu aku dan Ulil pergi ke Mini Market. Ulil nyari rokok + nongkrongin parkiran nungguin cewek bahenol lewat. Dan aku, cari minum aja + kalo bisa nyari cewek juga sih. Terbukti, cewek bahenol lewat, tapi anehnya Ulil sama sekali kagak melototin, malah dia nertawain. Kenapa ? cewek bahenol berkedok Mahasiswa Perawat itu jalan bukan dengan sok anggunya, eh malah garuk-garuk pantat di depan Ulil.
            “Gila men, kalau cewek bahenol lewat aku mau sih nikahin terus 7 hari gak bakalan make celana dan cukup dikamar. Tapi ini, bahenol sih, tapi kok pake garuk-garuk pantat segala”
            “Ya mungkin mukamu mirip kutu atau jamur yang nempel di pantatnya. Atau jangan-jangan malah mirip panu” jawabku dengan muka mengasihani Ulil.
            Akhirnya aku ninggalin Ulil yang sedang ngaca di spion motornya, mungkin sedang ngelihat persamaan mukanya sama panu. Aku masuk ke dalam Mini Market. Jleb, banyak Mahasiswa-Mahasiswi baru yang sedang berbelanja kebutuhan Ospek. Sebagai senior, tentunya wajahku yang culun dan seharusnya dijauhi karena keculunanku malah terbalik. Aku dikroyok pertanyaan-pertanyaan. “Kak besok bawa apa aja?”, “Kak” ini-itulah aku jawab seadanya.
            Tapi ada 1 Mahasiswi yang membuatku harus membusungkan dada mirip superman. Anis namanya. Cewek imut itu melunturkan keculunanku. Ruanganyang ber-Acpun berubah semakin sepoi-sepoi. Mirip seperti adegan India-india yang sedang pada adegan menyanyi di padang rumput. Tapi bedanya aku di rak-rak pembalut.
            “Kak, makasih ya karena udah ngasih tau Anis buat bekal besok” tanya anis dengan dihiasi senyum dan lesung pipinya. Manis sekali.
            “Owh iya sama-sama, udah dapet bekal buat besok?”
            “Udah kak, kakak sendiri belanja apa?”
            “Owh, ini. Cuma susu”
            “Masih minum susu? Gak papa sih. Owh iya kak, boleh minta nomor handphonnya kakak? Owh iya, kita belum kenalan kak, aku Anis” sambil menyodorkan tangannya yang putih untuk mengajak berjabat tangan.
            “Ni kamu ngajakin aku kenalan? Ni bukan diacara TV-TV yang artisnya nyamar gitu kan. Atau jangan-jangan kamu artis” akupun clingak-clinguk nyari kamera. Memang ada, tapi kamera CCTV milik Mini Market.
            “Enggak kak” rengeknya yang menambah kemanjaanya.
            “Ok, aku Alif. No 085727****** “
            Setelah berpamitan, aku pun keluar dari Mini Market. Nglihat Ulil semakin tidak tega. “Bray, ternyata mukaku ada panunya”. Mungkin Ulil dari tadi sibuk untuk mencari persamaan mukanya dengan pantat Mahasiswi Prawat tadi. Setelah Ulil menghabiskan rokoknya, dan aku menghabiskan susu, kami pun pulang ke rumah masing-masing.
            Sesampainya di rumah Anis sms aku terlebih dahulu. “Kak, udah nyampai rumah?” gila, dia malah sms terlebih dahulu. Malam itupun kami smsan. Hari-hari berikutnya juga tetap smsan. Apakah Anis ada perasaan ke aku yang bermuka culun? Entahlah. Tapi anehnya tiap kali aku bertanya nama Facebooknya, dia menolak. Aku pingin main ke rumahnya, dia juga menolak. Ada apa sebenarnya? Apa ada yang dia sembunyikan?
            Suatu malam di malam minggu, aku sms dia terlebih dahulu.
            “Dek, lagi apa? Kok smsku tadi sore gak kamu bales?”
            “Kenapa Bos?” itu balesan dari sms dia, aku heran, kenapa dia manggil bos?
            “Iya kenapa kok gak bales sms?” ku coba tanya lagi.
            “La emang kenapa bos, Anisnya lagi jalan-jalan sama aku. Aku pacarnya bos” gila, dia udah punya pacar. Awalnya aku mau bales minta maaf, tapi kok cemen. Akhirnya aku bales. “Owh, yaudah salamin sama Anis, bilang dapet salam dari aku, SENIORNYA” itupun aku ketik dengan tangan yang gemeteran.
            Pada akhirnya, frekuensi smsanku jadi jarang. Aku korban PHP Anis.
Yah, itulah sepenggal kisah PHP yang pernah aku alami. Entah istilah dari mana itu PHP (Pemberi Harapan Palsu). Intinya, buat apa kita menaggapi perasaan orang kalau kita tidak bisa membalasnya. Seperti pada kasusku dengan Anis, Anis teramat perhatian dan dia juga tidak cerita kalau punya cowok. Sama sekali.
            Buat apa kita menyambut genggaman orang lain ketika tangan kita sudah ada yang menggenggamnya.

Kapal Beroda 2



           Tanggal 11 November 2013 malam, aku njemput mantanku pulang kuliah. Pukul 8 malam ketika itu. Memang sih mantan, tapi layaknya mantan yang baik gak papalah njemput. Aku juga mikirnya kayak pahlawan-pahlawan gitu, kan masih suasana hari pahlawan (10 November). Ya, biar kayak di FTV-FTV gitu, si cowok njemput si cewek yang gak berani pulang.
            Malam itu aku udah nyampe kampus mantanku. Sialnya aku ketemu temenku pas SMA dulu, Danang. Danang yang pas lagi nongkrong di kucingan (sejenis warung makan di malam hari) aku panggil, “cil-acil” (itu panggilan Danang pas SMA, karna dia kecil, kecoklat-coklatan, pendek, kurus dan idup, sekilas diskripsi danang mirip upil). Danang nyamperin aku yang duduk di atas motor putihku.
            “ngapain bro disini?” tanya Danang.
            “gak ngapa-ngapain sih, cuma jemput cewek” jawabku sok keren dengan muka dibuat-buat.
            “sopir dong? Owh iya, kemarin gak dateng kumpul-kumpul anak-anak IPA 1 kenapa?”
            “gak papa, palingan yang dateng Cuma dikit”
            “apa? Cow yang gak dateng tu kamu, Halim, Taqwim, Kholis”
            “itu banyak kampret”
            Akhirnya Lili mantanku dateng, kami pamitan dari hadapan Danang. Langit mendung, dan baru beberapa meter, gerimis datang. Bingung antara mau makai mantel rempong, atau bawa anak orang pulang dalam keadaan basah. Mending kalau bawa martabak, gak nyambung yah, owh yaudah. Dan akhirnya ku putuskan makai mantel rempong. Jika dirasa-rasa, naek motor metic pas banjir itu mirip naek kapal. Ditambah make mantel, kapal beroda 2 bermantel namanya.
            Semarang di tengah guyuran hujan menjadikan jalanan Semarang menjadi wahana air sementara. Ketika itu juga banyak kendaraan senasib dengan kami. Hasilnya malah main ciprat-cipratan. Ada bapak-bapak yang dikala itu teriak-teriak.
            “woe mas bisa pelan-pelan gak, mbasahin semua”
            Aku bales perkataan bapak-bapak itu ditengah serangan air hujan, “woe pak, mau pelan, mau cepet, sama aja pak. Orang bapak udah basah gitu gara-gara gak makek mantel” ya aneh lah, orang gak makek mantel ya basah walau kena cipratan. Mungkin bapak-bapak tadi pemain film India yang khayalanya tingkat tinggi.
1 hal lagi, foto di atas bukan foto saya. Jelas.